Pengantar ekonomi
(HASAN NURYADI M.Ec)
“Analisa
Kasus Penjualan Saham Telkomsel dan Indosat ke SINGTEL”
Oleh
Mukhsin N.(s.0913.215)
M
|
enganalisa kasus -kasus yang telah dilakukan oleh
telkomsel maupun indosat ,yang saya kira membuat negara kita rugi hingga saaat
ini dan hal inilah yang membuat saya tertarik
dengan permasalahan ini ,saat ini Indonesia menjadi incaran para pakar-pakar
bisnis dunia kerana Indonesia mempunyai segalanya .katakan saja seperti
Telkomsel,Indosat,XL dan lain-lain ,yang dimana semuanya menguasai pangsa pasar
di Indonesia,tapi apa yang terjadi pada saat ini justru perusahaan di atas
menjual saham-saham mereka kepada pihak-pihak asing sehingga membuat perekonomian Indonesia semakin kacau
saja .dan yang membuat kita geram mendengarnya adalah yang
membelinya singapore,malasia yang merupakan negara tetara kita yang hasil
buminya tidak lebih baik dari negara kita ,namun sistem ekonominya seratus kali
lebih dari negara kita .mereka pinter memamfaatkan sumber daya yang ada
sehingga menghasilkan sesuatu barang atau hal-hal yang bernilai ekonomi.dan hal
inilah yang membuat pengangguran di negara mereka berkurang ,dan bahkan mereka
mampu mempengaruhi dunia saat ini yaitu singapore.
Dalam hampir
setiap seminar, workshop, diskusi atau forum-forum terbuka lain yang membahas
mengenai telekomunikasi, saya hampir selalu menemukan komentar atau lontaran
pertanyaan mengenai kepemilikan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di
Indonesia ini. Yang lucu, kalau sudah bicara mengenai kepemilikan asing, maka
pasti yang akan dibahas adalah Indosat. Mengapa demikian? mengapa tidak
operator lain yang yang diributkan?..
Semua orang
Indonesia mengaku tahu dan bangga bahwa negara kita kaya, kaya sumber alam,
kekayaan anugerah Allah Yang Mahakaya. Namun, tidak semua mau mengaku bahwa
kita ini bangsa yang bodoh, juga bangsa yang tidak bisa berdagang, sehingga
dibodohi orang lain.Bagaimana kita dilecehkan karena kebodohan kita, lihat saja
kasus STT/Temasek.STT atau Singapore Technologies Telemedia menjual 40,8 persen
sahamnya di PT Indosat ke Qatar Telecom (Qtel) dengan harga jauh dari saat
membelinya tahun 2002.Kita seolah (terlambat) disadarkan bahwa pemerintah
Megawati waktu itu menjual terlalu murah, hanya Rp 5,62 triliun untuk 41,94
persen saham Indosat ke STT dengan alasan sedang butuh uang untuk menambal
APBN. Mendapat dividen sekitar 1,5 miliar dollar AS selama mengelola PT Indosat
selain menyisakan 1,14 persen saham, STT juga untung hampir dua kali lipat
dengan penjualan senilai 1,8 miliar dollar AS atau Rp 16,56 triliun (kurs Rp
9.200 per dollar AS). Kelompok Temasek, selain mempunyai PT Indosat, juga
memiliki 35 persen saham PT Telkomsel, yang sebagian didapat dari hengkangnya
Koninklijke PTT—Post Telefoon en Telegraf—Nederland (KPN), ditambah penjualan
saham Telkom untuk menaikkan kepemilikan saham Singapore Telecom (SingTel),
anak usaha Temasek. Dari semua unit usaha telekomunikasi di Singapura atau di
luar, Telkomsel menyumbang jumlah pelanggan yang paling besar, yakni 55 juta
berbanding sekitar 2,5 juta pelanggan Sing.
Indonesia memang merupakan negara yang luas tapi sayangnya pemikiran kita
tak seluas negara kita,lihat saja Talkomsel dan indosat murupakan perusahaan
besar yang di miliki oleh negara kita,namun apa yang terjadi pada dua
perusahaan ini mereka malah menjualkannya pada negera-negara asing,yang mlah
mumbuat negara kita semakin miskin dan meningkatnya pengangguran .coba
seandainya kedua perusahaan ini tidak di jual,dua perusahaan ini bisa menambah
pendapatan negara kita ,karna kenapa di lihat dari segi penduduknya indonesia
murupakan salah satu negara yang penduduknya sangat banyak dan semuanya
menggunakan handphone selularbaik itu yang kaya maupun yang miskin.dan harga
pulsanya pun sangat mahal misalnya saja pulsa yang 5ribu rupiah Rp6000
rupiah,dan ini merupakan harga yang sangat mahal kalau kita bandingkan dengan
Malasia,singapore,Brunai Darussalam,bahkan hampir bisadi katakan pulsa di
negara mereka tidak berharga.sungguh ironis apa yang telah di lakukan oleh
bangsa kita ini sehingga menjurumuskan kita ke dalam keterperosotan yang
semakin dalam.
Privatisasi
merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mendapatkan devisa bagi
negara dengan menjual sebagian saham milik aset milik negara ke pihak lain.
Kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 ini diambil dari
usulan yang diberikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk menstabilkan kondisi
keuangan dan meningkatkan devisa atau penerimaan negara. Kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah ini harus mendapat persetujuan dari DPR RI. Oleh karena itu
kebijakan privatisasi merupakan salah satu kebijakan ekonomi politik Indonesia
yang diharapkan dapat membawa manfaat yang besar bagi Indonesia.Dalam kasus
privatisasi PT Indosat Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) yang
mendapat persetujuan DPR RI adalah penjualan sebagian saham PT Indosat Tbk dan
PT Telkomsel Tbk kepada pihak luar. Sebesar 35 persen saham Telkomsel dibeli
oleh Singapore Telecom (Singtel) dan sebagian saham Indosat yaitu sebesar 41,94
persen saham dibeli oleh Singapore Technologies Telemedia (STT). Akan tetapi
dalam kenyataannya kedua perusahaan Singapore yang telah membeli saham PT
Telkomsel Tbk dan PT Indosat Tbk adalah perusahaan-perusahaan yang ada dibawah
satu perusahaan induk yaitu Temasek Holding Group Ltd Singapura. Sehingga
secara tidak langsung Temasek Holding Group Ltd Singapura yang memegang lebih
dari sepertiga saham memiliki kewenangan untuk mempengaruhi kebijaksanaan,
strategi dan profit dari PT Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk.
Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk
merupakan provider telekomunikasi terbesar di Indonesia. Kedua perusahaan
tersebut memiliki cakupan pasar sekitar 80 persen dibandingkan dengan provider
telekomunikasi yang lain sehingga bisa dikatakan bahwa kedua perusahaan
tersebut merupakan perusahaan vital karena berhubungan langsung dengan hajat
hidup orang banyak. Bila mengacu pada pasal 33 ayat 2, kepemilikan saham yang
begitu besar ini jelas akan mengurangi peran pemerintah dalam mengalokasikan
sumber daya publik pada masyarakat karena semakin besar pemegang saham membeli
saham suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula intervensi yang dapat ia
lakukan dalam menentukan kebijakan perusahaan tersebut.
Sedangkan
dampak negatif yang diberikan dari dilakukannya privatisasi ini adalah adanya
tanda-tanda bahwa adanya monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan induk
dari Singtel dan dan STT Singapore yaitu PT Temasek Singapura. Kondisi monopoli
pasar ini merupakan kondisi yang tidak diinginkan dalam suatu lingkungan
industri yang dapat merusak iklim bisnis di Indonesia. Walaupun tidak menguasai
seluruh saham kedua perusahaan tersebut, tetapi lebih dari sepertiga sahamnya
dikuasainya dan secara langsung Temasek mempunyai kewenangan yang sangat besar
dalam mengatur kebijaksanaan, strategi dan profit yang didapat oleh kedua
perusahaan telekomunikasi Indonesia tersebut. Selain itu pemerintah akan
mengalami kesulitan untuk mengintervensi dan mengatur perusahaan-perusahaan ini
secara langsung, karena selain berhadapan dengan Temasek, pemerintah juga akan
berhadapan dengan hukum Internasional.Studi Kasus Privatisasi PT. Indosat Tbk.
(2002-2003). Agus Sarwanto ... politik ekonomi pada Pemerintahan Megawati Soekarnoputri: Studi kasus Soekarnoputri
mengeluarkan kebijakan privatisasi terhadap perusahaan yang sangat strategis dan ...
Korporasi perusahaan agar tercipta manajemen dan budaya kerja ..
ada hal
menarik yang belum saya tuliskan dan cukup worth it untuk dibahas
mengingat topik ini terus menerus berulang dan menjadi bahan pembicaraan orang
(atau koran?). Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau melihat persoalan
secara utuh dan menempatkannya pada konteks yang tepat. Sayangnya lagi, justru
orang-orang yang hanya mengambil screen shot dari konteks permasalahan
yang banyak bersuara lantang di ruang publik sehingga terbentuklah opini.
Dalam hampir setiap seminar,
workshop, diskusi atau forum-forum terbuka lain yang membahas mengenai
telekomunikasi, saya hampir selalu menemukan komentar atau lontaran pertanyaan
mengenai kepemilikan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia ini.
Yang lucu, kalau sudah bicara mengenai kepemilikan asing, maka pasti yang akan
dibahas adalah Indosat. Mengapa demikian? mengapa tidak operator lain yang yang
diributkan?
Karena saya tidak suka conspiracy
theory, maka saya melihat dari sudut pandang yang jelas-jelas ada saja.
Jadi dalam issue ini, saya lebih suka menduga bahwa ini karena faktor sejarah
yang membedakan antara Indosat dengan perusahaan-perusahaan telekomunikasi
berlabel PMA yang lain.
Di antara
seluruh operator di Indonesia, memang hanya Telkom dan Indosat perusahaan
telekomunikasi yang pernah menjadi perusahaan yang BUMN secara langsung
(artinya saham langsung dipegang oleh Pemerintah dan juga menyandang gelar
persero). Kedua perusahaan pernah menikmati masa-masa indah monopoli yang
dibagi dalam dua wilayah layanan, yaitu telekomunikasi domestik (oleh Telkom)
dan telekomunikasi internasional (oleh Indosat). UU Telekomunikasi No. 3 Tahun 1989
dan turunannya bahkan menjadikan kedua perusahaan sebagai Badan Penyelenggara,
yang berarti bagian dari Pemerintah. Meminjam istilah fraksi yang merupakan
perpanjangan tangan parpol, maka Telkom dan Indosat merupakan perusahaan yang
menjadi perpanjangan tangan Pemerintah di dunia bisnis. Bahkan menjelang IPO,
kedua badan penyelenggara mendapatkan hak ekslusifitas atau jaminan monopoli
untuk jangka waktu cukup lama (Indosat untuk SLI sampai tahun 2004, Telkom
untuk SLJJ sampai tahun 2005 dan Lokal sampai tahun 2010).
Dari kedua perusahaan ini,
muncullah perusahaan-perusahaan telekomunikasi lain, besar dan kecil yang
merupakan hasil patungan kedua Badan Penyelenggara. Bisa dikatakan, hampir
seluruh perusahaan telekomunikasi penyelenggara Jasa Teleponi Dasar merupakan
milik Pemerintah, baik langsung (di Telkom dan Indosat) maupun tidak langsung
(sebagai anak cucu kedua perusahaan tersebut). Perusahaan telekomunikasi yang
murni swasta masih bisa dihitung dengan jari (misalnya Excelcomindo yang sejak
awal berdiri merupakan swasta murni).
Pada Tahun 1997-1998, ketika krisis moneter yang
berlanjut menjadi krisis multidimensi melanda Indonesia, datanglah IMF yang
membawa dana sekaligus ‘resep’ pemulihan ekonomi. Salah satu ‘resep’ yang
dibawa IMF untuk sektor telekomunikasi adalah privatisasi dan pelarangan cross
ownership. Pemerintah dan DPR pada waktu itu tidak memiliki pilihan lain,
UU Telekomunikasi baru, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 segera dibuat dan disahkan
menggantikan UU No. 3 Tahun 1989. UU baru ini yang secara drastis mengubah peta
telekomunikasi Indonesia. Struktur penyelenggaraan jelas dirubah, kepemilikan
juga tidak luput. Liberalisasi telekomunikasi Indonesia diawali dengan
diterbitkannya UU baru ini. Pada prinsipnya, siapapun bisa menjadi penyelenggara
telekomunikasi, baik BUMN, BUMD, swasta maupun koperasi. Dan ketika berbicara
swasta, tidak ada pembatasan atau kentuan mengenai asing atau domestik.
Satu-satunya regulasi terkait dengan kepemilikan asing adalah komitmen dalam
GATT / WTO, namun pembatasan ini juga akhirnya banyak sekali direduksi dan
bahkan banyak pula pembatasan yang dihilangkan.
Selain
liberalisasi dan privatisasi, ada satu tuntutan IMF lain yang ’sederhana’ namun
dampaknya jelas berkepanjangan sampai sekarang. Dalam LoI (Letter of Intent)
yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan IMF, konon salah satu klausul
yang tercatat adalah larangan adanya cross ownership antara dua
perusahaan telekomunikasi Pemerintah, yaitu Telkom dan Indosat. Larangan ini
benar-benar diterapkan pada awal tahun 2001 yang ditandai dengan kesepakatan
pembagian anak-anak perusahaan Telkom dan Indosat. Pada awalnya keduanya, baik
Telkom maupun Indosat ‘berebutan’ untuk mendapatkan Telkomsel diantara
anak-anak perusahaan lain. Maklum, bahkan pada pada tahun 2001, Telkomsel
merupakan perusahaan yang sangat sehat, tanpa hutang, sudah menjadi market
leader dan berani mengklaim sudah hadir di seluruh propinsi di Indonesia
(meskipun baru di ibukota provinsi). Dengan ‘petunjuk’ dari Pemerintah sebagai
pemegang saham kedua perusahaan, disepakati bahwa Telkom mendapatkan Telkomsel,
melepaskan kepemilikan di semua perusahaan yang lain, menyerahkan wilayah Jawa
Tengah (Divre IV) dan masih harus membayar secara tunai kepada Indosat.
Sebelum
eksekusi larangan cross ownership di atas, Telkom dan Indosat sudah mendapatkan
alokasi frekuensi GSM baru dari Pemerintah di band 1800 MHz. Indosat segera
membentuk Divisi Mobile yang kelak menjadi IM3 dan Telkom membentuk Divisi
Mobile pula yang waktu itu dinamakan Telkom Mobile. Proses ‘perceraian’
dilaksanakan, Telkom yang harus membayar Indosat dalam jumlah besar memutuskan
untuk melebur Telkom Mobile ke Telkomsel dan sekaligus menjual sebagian saham
kepada strategic partner. O ya, kebetulan KPN yang menjadi pemegang saham
Telkomsel lain mengalami kesulitan di daratan eropa dan memutuskan untuk quit
dari Telkomsel, selain itu entah apa alasannya, Setiawan Djodi juga melepaskan
sahamnya di Telkomsel. Telkom menemukan strategic partner yang pas, yaitu
SingTel. Pada awalnya SingTel hanya menguasai 25% dari saham Telkomsel, namun
kemudian menambah kepemilikannya menjadi 35%. Komposisi kepemilikan ini berlaku
sampai sekarang.
Eksekusi
kesepakatan pelepasan cross ownership ternyata tidak mulus. Karyawan Telkom di
Jawa Tengah menolak untuk masuk ke Indosat bahkan mereka berbondong-bondong
datang ke Jakarta untuk melakukan demonstrasi pada saat dilakukan RUPS di
Indosat. Entah ada intervensi dari Pemerintah atau tidak, beberapa tahun
kemudian, management kedua perusahaan (Telkom dan Indosat) sepakat untuk
membatalkan salah satu bagian dari kesepakatan tersebut, konsekuensinya, Telkom
harus membayar Indosat. Indosat rupanya tidak mau tanggung untuk keluar dari
lingkaran Telkom. Selain melepaskan kepemilikan di MGTI (pelaksana KSO di Jawa
Tengah), Indosat juga melepaskan saham di PIN (KSO Divre I, Sumatera).Dengan
uang hasil penjualan Telkomsel, Indosat langsung mengakusisi Bima Graha,
pemilik mayoritas saham Satelindo pada waktu itu (Bimagraha merupakan unit
bisnis di bawah bendera Bimantara sekarang merupakan Pemilik Mobile-8).
Kepemilikan Indosat di Satelindo naik menjadi 75%. Sementara itu, pada akhir
2001, IM3 anak perusahaan berada dibawah kendali penuh Indosat (sebagian saham
dalam proporsi yang sangat kecil dimiliki oleh Koperasi Karyawan Indosat) mulai
launching. Kini Indosat memiliki dua perusahaan seluler yang beroperasi dan
dikemudian hari akan menjadi sumber permasalahan besar di Indosat.
Sementara IM3
baru mulai beroperasi dan telah menyerap dana trilyunan rupiah dari Indosat,
Satelindo berada pada posisi yang sulit. Kreditor Satelindo menerapkan covenant
yang mengakibatkan Satelindo tidak dapat melakukan ekspansi. Struktur
permodalan Satelindo yang kritis mengakibatkan kreditor mengawasi perusahaan
ini dengan sangat ketat. Padahal, di dunia seluler, berhenti membangun sama
saja menunggu kematian pelan-pelan. Untuk melepaskan covenant tersebut,
shareholder harus melakukan penyuntikan modal kepada perusahaan untuk
memperbaiki struktur permodalan. Sayangnya DT Mobile sebagai pemilik 25% saham
Satelindo tidak sudi mengeluarkan dana tambahan untuk melepaskan covenant itu.
Barangkali dengan tekanan dari Pemerintah juga, DT Mobile akhirnya keluar dari
Satelindo, Indosat menjadi satu-satunya pemegang saham Satelindo 100%.
Dengan semua corporate action di
atas, bisa dibayangkan berapa dana yang terlibat dan pajak yang harus dibayar
oleh Telkom maupun Indosat. Kabarnya untuk pajak saja, tidak kurang dari Rp. 3
T dibayarkan kepada negara (sebagai perbandingan, bahkan revenue Indosat pada
waktu itu masih di bawah Rp. 5 T).
Jika Telkom
nampak sudah mulai tenang dan menata kembali bisnisnya setelah selesainya
segala ribut-ribut di atas, tidak demikian halnya dengan Indosat. Kali ini
bukan corporate action yang dilakukan oleh Indosat, tapi justru datang dari
Pemerintah. Setelah issue cross ownership diselesaikan, Pemerintah masih tetap
memiliki saham sebesar 65% di Indosat (sisanya semua diperdagangkan di pasar
modal, baik JSX maupun NYSE). Karena tekanan kebutuhan untuk mengisi kas APBN,
maka atas persetujuan DPR, Pemerintah diperbolehkan menjual saham-saham BUMN
(privatisasi). Dalam daftar BUMN yang akan dijual, muncul Indosat.Pada awalnya,
Pemerintah melakukan block sale di JSX, 8% saham dijual kepada publik. Namun
rupanya cara ini tidak menghasilkan harga yang memuaskan. Maklum saja, dengan
cara menjual saham ke publik, Pemerintah akan mendapatkan harga pasar terhadap
setiap lembar saham dilepas. Strategic sale akhirnya menjadi pilihan. Dengan
sisa kepemilikan sebesar 57%, Pemerintah menawarkan 42% sahamnya kepada
investor yang berminat sehingga hanya menyisakan kepemilikan sebanyak 15%.
Mengapa strategic sale? mudah saja, dengan strategic sale, Pemerintah
berkesempatan mendapatkan harga premium, atau harga diatas harga pasar. Mengapa
42%? Alasannya juga mudah, kalau yang dijual hanya 30% misalnya, sehingga dalam
komposisi akhir Pemerintah masih menguasai 27% (hampir berimbang dengan
investor baru), maka pasti premium yang akan didapatkan akan semakin kecil.
Logikanya investor akan memberikan premium lebih tinggi sebagai kompensasi
terhadap kontrol yang akan diperolehnya terhadap perusahaan. Saham yang jual
block sale ke JSX akan dihargai pada harga pasar karena investor tidak memiliki
kontrol langsung kepada perusahaan. Semua proses di atas adalah logika bisnis
normal.
Setelah
mengadakan tender terbuka, dipilihlah pemenangnya yaitu STT yang menggunakan
ICL sebagai SPV dalam pembelian ini. Lepas dari ‘kejanggalan-kejanggalan’ yang
ditengarai berbagai pihak, misalnya keputusan pemenang yang ditentukan pada
hari libur dsb, semua proses itu masih normal. Saya tidak tahu detail kejadian
dibalik menangnya STT, namun dari sudut pandang corporate action, tidak ada
kejanggalan apapun di sini.
Semua hingar
bingar termasuk demonstrasi pasca penjualan Indosat nampaknya mulai mereda
setelah masuk tahun 2003. Akhir tahun 2003, bertepatan dengan hari ulang tahun
Indosat yang ke 36 (kalau saya tidak keliru), Indosat melakukan corporate
action besar terakhir, yaitu melakukan merger tiga perusahaan (secara legal
sebenarnya empat perusahaan, karena ada Bima Graha sebagai pemilik sebagian
saham Satelindo) . Setelah hari itu, Satelindo dan IM3 sebagai entitas hilang
ditelan oleh Indosat, namun produk-produknya tetap hidup sampai sekarang.
Tujuan dari merger
yang dilakukan Indosat nampaknya adalah untuk meningkatkan efisiensi, terutama
dalam belanja modal dan operasional jaringan yang dimilikinya, namun tujuan itu
ternyata tidak mudah untuk dicapai. Setelah merger, ternyata Indosat mulai
memasuki salah satu masa tersulit dalam sejarahnya. Merger secara entitas dapat
dipersiapkan dan dilaksanakan dengan sukses, namun merger dalam hal-hal lain
tidak semudah itu. Indosat harus melalui periode transisi menuju single network
yang ditandai dengan menurunnya kualitas jaringan dan kemampuan meningkatkan
kapasitas maupun coverage. Penyatuan sumber daya manusia,
penyesuaian-penyesuaian organisasi dan berbagai persoalan pelik internal
ternyata memerlukan waktu lebih panjang untuk diselesaikan. Dalam tiga tahun,
sejak 2003 sampai 2006, ‘gejolak’ internal tersebut mengakibatkan performansi
Indosat tidak cukup meyakinkan. Beberapa kali pergantian pucuk pimpinan tidak
disertai dengan peningkatan pada performansi keuangan. Harga saham tentu saja
cenderung stagnan dan segera dilewati oleh Telkom yang memang performansinya
jauh lebih baik. Performansi Telkom yang kinclong tersebut sebenarnya ditopang
oleh pertumbuhan Telkomsel yang hampir bisa dikatakan ‘tanpa saingan’ di
Indonesia.
Puncak dari
masa sulit Indosat terjadi di awal 2006 dimana baru pertama kali dalam sejarah,
jumlah pelanggan seluler Indosat mengalami pertumbuhan negatif. Namun demikian,
akhir 2006 sudah mulai menunjukkan tanda-tanda baik yang terus berlanjut sampai
sekarang. Dan bersamaan dengan itu pula, mulai muncul issue-issue buy back,
sentimen kepemilikan asing, monopoli dan berbagai tuduhan lain. Bahkan
lembaga-lembaga akademis seperti LPEM dan INDEF melakukan studi khusus untuk
‘menyelidiki’ kerugian rakyat Indonesia akibat monopoli yang dilakukan Temasek,
nenek moyang dari SingTel yang memiliki Telkomsel dan STT yang memiliki
Indosat.
Basis
argumentasi dari kajian mereka pada intinya adalah tarif layanan post paid
Telkomsel dan Indosat yang cenderung mirip dari tahun ke tahun serta capex dan
profitabilitas Telkomsel (atau secara umum performansi) yang jauh melebihi
Indosat dalam beberapa tahun sejak sebagian -besar- kepemilikan Indosat beralih
ke STT. Baik LPEM maupun INDEF menyimpulkan bahwa semua itu merupakan indikasi
adanya kontrol dari the ultimate owner (yaitu Temasek) yang berpotensi
merugikan konsumen Indonesia (bahkan sempat keluar angka Rp. 25 T!).
Mengenai
tarif layanan postpaid, baik LPEM mapun INDEF melupakan satu hal yang sangat
penting dan berpengaruh terhadap industri telekomunikasi, yaitu faktor
regulasi. Sampai dengan diterbitkannya PM 12 Tahun 2006 mengenai tarif layanan
di Jarber Seluler, seluruh tarif seluler di Indonesia pada dasarnya adalah
diregulasi. Tarif postpaid ditentukan berdasarkan skenario panggilan yang
komponennya terdiri dari tarif Air Time dan tarif Interkoneksi. Baik tarif Air
Time maupun tarif Interkoneksi semuanya di atur oleh Pemerintah. Tidak bisa
dihindarkan, kondisi seperti ini tentu memaksa Telkomsel dan Indosat untuk
menerapkan tarif sangat mirip. Lalu mengapa hanya Telkomsel dan Indosat yang
menerapkan tarif post paid yang mirip? mengapa operator lain memiliki pola
tarif yang berbeda? pertanyaan ini justru akan tepat jika dijawab oleh operator
yang menerapkan tarif post paid berbeda. Telkomsel dan indosat jelas mengikuti
regulasi dari Pemerintah, operator lain? who knows?
Kondisi yang
sama sekali berbeda terjadi di prepaid karena memang sejak awal, tarif prepaid
hanya di atur ceiling (maksimal 140% dari tarif post paid). Karena hanya diatur
batas atas, maka variasi bisa sangat banyak dan range yang terjadi juga bisa
sangat lebar. Dalam hal ini (tarif pre paid), tidak akan bisa dilihat pola yang
mirip antara Telkomsel dan Indosat. Masih ingat aturannya bukan?
Hal kedua
yang diributkan adalah performansi, baik keuangan maupun pertumbuhan pelanggan.
Sebagaimana telah saya jelaskan panjang lebar di atas, pasca merger Indosat
mengalami masa-masa transisi yang sangat sulit. Ini bukanlah kondisi yang
terjadi by design, tapi secara natural. Belanja modal yang dianggarkan Indosat
habis untuk melakukan pembenahan jaringan di seluruh Indonesia. Situasi
internal perusahaan juga masih ’shock’ pasca merger, perlu waktu untuk kembali
ke jalur pertumbuhan. Dalam banyak kasus merger antar perusahaan-perusahaan
besar, hal seperti ini terjadi di mana-mana. Indosat masih termasuk beruntung.
Dalam waktu tiga tahun, bangunan baru hasil merger sudah mulai stabil.
Perusahaan kembali mulai melangkah dan kembali ke jalur yang semestinya.
Sebagaimana telah saya sebutkan tadi, Indosat baru mulai bangkit pada awal 2007
dan sebelum akhir tahun, tanda-tanda perningkat performansi itu sudah terlihat,
harga saham Indosat kembali merangkak naik.
Kedua pokok
argumentasi yang dibungkus dengan studi yang menggunakan berbagai metodologi
canggih di atas ternyata dapat dijelaskan dengan sangat sederhana seperti di
atas. Orang tidak memerlukan gelar doktor untuk memahami kondisi tersebut. Tapi
cerita belum selesai.Akhir-akhir ini, KPPU bahkan ‘turun tangan’ menangani
kasus ini. Dengan menggunakan berbagai ’studi ilmiah,’ di atas sebagai bekal,
KPPU melihat adanya indikasi bahwa Temasek telah dengan sengaja melakukan
monopoli di pasar Indonesia. Orang yang sedikit saja tahu sejarah perkembangan
seperti yang diuraikan di atas tentu akan tertawa atau setidaknya tersenyum.
KPPU merupakan lembaga terhormat yang di dalamnya terdapat pribadi-pribadi
cerdas dengan reputasi mengagumkan. Tapi ada satu hal kecil yang aneh di sini.
Antara tahun 2001 dan 2002 ketika baik Telkom menjual saham Telkomsel ke
SingTel maupun ketika Pemerintah menjual saham Indosat kepada STT, KPPU sudah
eksis atau setidaknya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Laranngan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat sudah diterbitkan. Kemana KPPU pada waktu itu?
Mengapa penyelidikan baru dilakukan sekarang? Tahun 2007, lima tahun setelah
Indosat dijual ke STT.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa aroma nasionalisme yang anti asing sangat dominan dalam
issue-issue seperti ini. Sangat wajar bahwa setiap warga negara yang waras akan
memiliki rasa nasionalisme, kecintaan terhadap bangsa dan negara ini. Saya
pribadi sangat sedih ketika Indosat harus berpindah kepemilikan dari Pemerintah
ke STT, saya bahkan mendukung ketika karyawan Indosat melakukan demonstrasi
menolak privatisasi. Tapi rupanya para pengambil keputusan di negara ini
memiliki pertimbangan lain. Saya tidak tahu, apakah karena terdesar oleh
kebutuhan untuk mengisi kas negara sehingga harus menjual ‘angsa bertelur
emas’? lalu mengapa dijual kepada investor dari luar negeri bukan dari dalam negeri?
lalu mengapa STT yang menang? dst. Itu semua tentu pihak-pihak yang terlibat
langsung yang bisa menjawab.
SingTel Tingkatkan Kepemilikan di
Telkomsel Singapore Telecommunication Ltd. (SingTel) kembali meningkatkan
kepemilikan sahamya di PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), dengan membeli
12,7 persen saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) senilai US$ 429
juta. Dengan demikian, kepemilikan saham SingTel di Telkomsel kini menjadi 35
persen dari sebelumnya 22,3 persen, sehingga komposisi kepemilikan saham
Telkomsel berubah menjadi Telkom 65 persen (sebelumnya 77,7 persen).
Apalagi yang dapat kita banggakan atas dunia telekomunikasi
Indonesia ??Tahun 1995, PT Telkom mulai melakukan penjualan sahamnya di Bursa
Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), New York Stock Exchange (NYSE)
dan London Stock Exchange (LSE). ursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya
(BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange (LSE). Dengan
melakukan perdagangan saham di beberapa bursa efek ini, maka saham Telkom dapat
dengan bebas dimiliki oleh investor. Pertanyaannya sekarang, apa untungnya
Telkom melakukan hal ini? Kalau alasannya cuma untuk mendapatkan tambahan dana
untuk menyehatkan dan mengembangkan bisnis Telkom, seperti ini kurang relevan.
Bukankah pada saat itu Telkom tercatat sebagai BUMN paling sehat. Pada saat itu
jasa telepon wireline masih menjadi pilihan utama masyarakat, karena bisnis
telkomunikasi mobile belum terlalu berkembang. Sehingga dapat dipastikan bahwa
Telkom adalah satu-satu perusahaan telekomunikasi yang menguasa pasar
telekomunkasi di Indonesia pada saat itu. Banyak pihak berpendapat bahwa
process penjualan saham ini adalah bagian dari scenario besar yang sedang
dijalankan oleh pihak-pihak tertentu untuk dapat ikut menguasai Telkom sebagai
asset telekomunikasi paling besar di negara ini.
Lalu
pada tahun 1999, dengan desakan yang sangat kuat dari IMF, disahkanlah
Undang-undang nomor 36/1999, tentang penghapusan monopoli penyelenggaraan
telekomunikasi. Pada dasarnya UU ini hanya bertujuan untuk mengurangi control
pemerintah di pereusahaan-perusahaan telekomunikasi besar yang ada di
Indonesia. Salah satu dampak dari UU ini adalah, Telkom dan Indosat tidak boleh
ambil berbagi kepemilikan dalam sebuah perusahaan telekomunikasi di Indonesia.
Sehingga di seluruh perusahaan telekomunikasi yang ada, dimana Telkom dan
Indosat memiliki saham, maka kepemiliki keseluruhan saham perusahaan tersebut
harus diserhkan kepada Telkom atau Indosat, sesuai dengan kesepakatan kedua
perusahaan tersebut. Salah satu contoh kasusnya ialah seperti yang terjadi di
Satelindo dan Telkomsel. Kepemilikan Telkomsel sepenuhnya menjadi milik Telkom,
dimana Telkom harus membeli seluruh saham Indosat yang ada di Telkomsel. Dan Satelindo,
sepenuhnya menjadi milik Indosat, dimana Indosat juga harus membeli seluruh
saham Telkom di Satelindo.
Lihat juga kasus penjualan 12,72% saham telkom di Telkomsel kepada
SingTel Singapore, sehingga saham SingTel di Telkomsel bertambah menjadi 35%,
sedangkan saham Telkom turun menjadi 65%. Padahal pada waktu itu, proses
penjualan saham Telkom di Telkomsel kepada SingTel ini tidak disetujui oleh DPR
RI (kalau DPR tidak setuju, mestinya ada sesuatu dibalik process penjualan
saham ini). Perlu diingat bahwa pada saat itu (2002), dengan jumlah pelanggan
sebanyak 5 juta pelanggan, Telkomsel merupakan market leader di bisnis
telekomunikasi mobile di Indonesia. Sehingga dengan bertambahnya jumlah saham
SingTel di Telkomsel, maka akan mengakibatkan bertambahkan aliran uang dari
Indonesia yang mengalir ke Singapore, yang secara langsung hanya akan
memperkaya mereka.
Kemudian kasus yang paling heboh,
penjualan INDOSAT ke perusahaan asing asal Singapore, Singapore Technologies
Telemedia (STT) pada tahun 2002. Dimana nilai jual INDOSAT saat itu dinilai
sangat murah, padahal asset INDOSAT saat itu sangat besar, karena sebelum
dijual INDOSAT baru saja mengakuisisi SATELINDO (dampak dari pemisahan saham
INDOSAT dan TELKOM di seluruh perusahaan telekomunikasi yang ada di Indonesia).
Dan dana hasil penjualannya juga tidak jelas alirannya kemana. Buntut dari
penjualan ini, saat ini pemerintah Indonesia tidak memiliki control yang kuat
di Indosat, karena mayoritas saham dimiliki oleh STT, yaitu sebanyak 39,96%, JP
Morgan memilkin saham sebesar 8,38%, saham public sebesar 37,37%. Sedangkan
pemerintah Indonesia hanya memiliki saham sebesar 14,29%. Dan yang lebih
penting lagi, asset Negara yang begitu besar yang ada di Indosat, tidak lagi
apat dimanfa’atkan sepenuhnya untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia.
Lihat juga kasus jual beli license dan
saham yang terjadi di 2 perusahaan pemegang license 3G yang baru, yaitu Cyber
Access (CAC) dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) kepada perusahaan-perusahaan
asing (Hutchison Telecom dan Maxis Malaysia). Padahal pemerintah dengan tegas
melarang mereka menjual license dan sahamnya sampai mereka benar-benar dapat beroperasi
dan membuktikan komitmen mereka untuk membangun infrastruktur 3G di Indonesia,
sesuai dengan kesepakatan yang ada dalam kontrak license 3G yang mereka
dapatkan. Kedua perusahaan ini seperti ini tidak mau repot-repot membangun
infrastruktur 3G, tapi mereka tetap mau dapat untung gede, akhirnya mereka
hanya berlaku sebagai ”broker” license 3G, dapat license dari pemerintah dan menjualnya dengan harga lebih mahal ke
perusahaan asing. Dapat untung gede
dengan tanpa harus repot. Tetapi akibatnya resource dan infrastruktur 3G di
Indonesia akan denganmudah dikuasai pihak asing.
Lihat juga kasus penjualan XL ke
Telekom Malaysia (TM Malaysia) pada tahun 2005. Dengan penjualan ini maka komposisi kepemilikan di XL saat
ini menjadi sebagai berikut : Indocel Holding Sdn. Bhd. (Malaysia) sebesar
67,0%, Khazanah Nasional Berhad (Malaysia) sebesar 16,8%, Bella Sapphire
Ventures Ltd. Sebesar 16%, dan sisanya sebesar 0.2%.dimiliki oleh karyawan dan
public.Selain kasus jual-beli di atas, pada tahun ini, pemerintah juga telah
mengeluarkan ijin bagi 10 negara asing untuk mengorbitkan satelit mereka di
atas wilayah udara Indonseia. Dengan demikian maka bangsa-bangsa maju dapat
dengan sesuka hati mereka mengorbitkan satelitnya di atas wilayah Indonesia,
akibatnya semua wilayah Indonesia akan mampu mereka pantau, baik kondisi
lingkungannya, keamanan, maupun kekayaan alamnya. Kita seperti membuka lebar-lebar pintu
rahasia rumah kita yang selama ini kita tutup rapat-rapat.
Deretan kasus-kasus di atas
mengakibatkan hampir semua perusahaan-perusahaan telekomunikasi besar di negeri
ini menjadi milik perusahaan asing, baik sebagian ataupun keseluruhan. Sehingga secara otomastis, devisa
yang dihasilkan dari industri telekomunikasi di negeri ini, yang nilainya
sangatlah besar, akan mengalir juga ke negara-negara yang perusahaannya
memiliki saham di perusahaan-perusahaan telekomunikasi Indonesia tersebut.
Selain dari sisi ekonomi, resource dan infrastruktur
telekomunikasi adalah suatu hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, yang
akan sangat mendukung keamanan dan integritas bangsa tersebut. Bagaimana
jadinya jika hal yang begitu penting itu dikuasai dan dikontrol oleh pihak
asing. Belum lagi dengan infrastruktur telekomunikasi asing yang diperbolehkan
beroperasi di wilayah Indonesai. Akibatnya pihak-pihak asing bisa saja dengan
mudah mencuri informasi-informasi penting bangsa dan negara kita, yang dengan
informasi itu maka melemahkan tingkat keamanan, kedaulatan, kesatuan negara
kita.Belum
lagi keuntungan yang didapat jika dihitung bahwa banyak pembelian prasarana
telekomunikasi harus lewat Singapura, tidak dibeli di Indonesia. Singapura
memang miskin sumber daya alam, tetapi akalnya hebat, bisa memanfaatkan mitra
untuk keuntungan mereka tanpa risi.
Namun, lewat
Bridge, aliansi yang menyatukan semua perusahaan telekomunikasi yang sahamnya
juga dimiliki kelompok ini, SingTel bisa mendapatkan harga beli yang sangat
murah dari vendor, seperti harga untuk pembeli besar. Harga kartu SIM
(subscriber identification module), misalnya, yang kalau di bawah satu juta
sebulan bisa Rp 60.000 setiap keping, tetapi karena dibeli oleh Bridge yang
sebulan bisa memesan 12 jutaan kartu SIM, harga bisa hanya Rp 3.500.Dari semua
kebutuhan SIM untuk kartu perdana, contohnya, Telkomsel saja perlu sedikitnya
60 juta keping, belum Bharti India, belum Maxis Malaysia, belum dari Thailand,
Australia, dan Filipina, sementara SingTel paling hanya membutuhkan 10.000
sebulan. Alasan itu juga kenapa Indosat—yang kelompok aliansinya berbeda dengan
Bridge—harus membeli barang teknologi semisal BTS atau perangkat sentral lewat
grupnya di Singapura. Baik dari transaksi atau kartu SIM atau barang lain,
Singapura akan mendapat semacam fee.
Memang itulah
bisnis, unggul jika piawai dalam memanfaatkan kelebihan dan meminimalkan
kelemahan, dan kemampuan itu dimiliki Singapura, tetapi tidak kita miliki.
Menjual kembali dengan harga berlipat, dalam bisnis dan dagang seperti yang
dilakukan STT, tidak ada haramnya.Soal sah secara dagang, sudah digaungkan
banyak pihak yang menganggap tak ada yang salah dalam transaksi antara STT dan
Qtel. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tidak melihat sesuatu yang salah
dalam jual beli itu. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang memang dari kalangan
saudagar, menilai itu adalah transaksi bisnis biasa yang sah.
Tidak ada
satu pun dari mereka yang berkutat di perdagangan yang mengaitkan transaksi ini
dengan hukum, dan hanya melihat dari sisi hukum dagang saja, malah Menneg BUMN
Sofyan Djalil memandang transaksi ini sebagai berkah. Dengan naiknya harga
minyak, negara-negara Timur Tengah penghasil minyak kebanjiran uang dan
pemerintah merasa perlu menarik mereka menanamkan modal di Indonesia.Padahal,
ketika transaksi ditutup, STT masih terkait masalah hukum yang sedang dalam proses
kasasi di Mahkamah Agung yang sewajarnya dihormati oleh semua pihak. STT
terkena masalah ketika Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat
Kelompok Temasek sudah melakukan praktik usaha yang melanggar Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
PT Indosat
dan PT Telkomsel dimiliki oleh Kelompok Temasek lewat beberapa unit usahanya:
PT Indosat dimiliki Asia Mobile Holdings (AMH) yang 75 persen sahamnya dimiliki
STT dan 25 persen Qtel, sementara PT Telkomsel dimiliki lewat SingTel. Keduanya
memiliki pangsa pasar sampai 82 persen, yang dianggap berpotensi untuk mengatur
harga dan menimbulkan monopoli serta persaingan yang tidak sehat.
Majelis KPPU memutuskan STT
harus melepaskan salah satu anak perusahaannya di Indonesia itu dan menjual
sahamnya kepada pihak lain yang tidak punya afiliasi dengan STT, maksimal 5
persen saham kepada setiap pembeli. Angka ini diubah menjadi 10 persen oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lalu STT mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung.Apa pun keputusan Mahkamah Agung, terlihat bahwa STT melecehkan Mahkamah
Agung dan KPPU karena menjual saham tanpa menunggu proses hukum berakhir.
Mustahil STT atau Temasek tidak tahu proses hukum di Indonesia, tetapi mereka
sudah melihat lubang-lubang penyelamat yang membuat hukum di Indonesia lewat
keputusan MA tak bisa menjangkau mereka.STT menyalahi keputusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat karena menjual saham sekaligus dalam jumlah besar, 40,8
persen, tidak 10 persen. STT juga menjual kepada perusahaan yang berafiliasi di
AMH yang 25 persen sahamnya dimiliki Qtel, 75 persen sisanya STT.
Kecanggihan STT atau Temasek
bisa disimak dari pernyataan Chief Excecutive Officer STT, Lee Theng Kiat,
seperti dikutip media belum lama ini. Menurut dia, dengan transaksi itu, STT
tidak lagi terlibat dengan PT Indosat, juga dalam masalah dengan KPPU.Apakah
maksudnya walau MA menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
eksekusi tidak bisa dilakukan karena STT tidak lagi ada kaitan dengan Indosat?
Qtel yang punya saham di Indosat pun bisa berkelit. Mereka bukan STT dan sama
sekali tidak mewakili STT sehingga keputusan itu tidak berkaitan dengan Qtel.
Kalau ini terjadi, wibawa
lembaga hukum kita akan makin merosot sampai ke dasar, khususnya pada masalah
bisnis dan industri internasional karena keputusannya tidak bergigi. KPPU pun
sama karena keputusan akhir mentah, sasarannya bisa berkelit.Syamsul Ma’arif,
Ketua KPPU, yang sangat kecewa pada manuver bisnis STT yang melecehkan
lembaganya itu, berencana mengadukan masalahnya ke Asian Expert Group on
Competition (AEGC) .Lembaga pengawas persaingan usaha se-Asia ini diharapkan bisa
memberikan dukungan atau jalan jika Bapepam dan Mahkamah Agung tidak bisa
menyelesaikan kasus ini.
Telkom
menandatangani nota kesepahaman dengan Singtel dalam program kerjasama
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Perusahaan telekomunikasi Singapura
itu dipilih lantaran reputasinya sudah mendunia. Tahap awal kerjasama, kata
Direktur Sumber Daya Manusia Telkom Faisal Syam, meliputi bidang pengelolaan
pelanggan dan tanggung jawab sosial perusahaan. "Selanjutnya akan
dikembangkan ke bidang manajemen risiko, bisnis internasional, dan regulatory
management,"ujar . Faisal mengungkapkan, pengelolaan pelanggan merupakan
bidang yang berkembang pesat dan semakin penting perannya. Persaingan di bisnis
telekomunikasi telah memacu operator berlomba memberi pelayanan terbaik kepada
pelanggan, khususnya pelanggan perusahaan.
Pelanggan perusahaan, Faisal menambahkan, membutuhkan banyak pilihan layanan telekomunikasi bagi kebutuhan bisnisnya yang semakin kompleks. "Persaingan untuk memperebutkan pelanggan jenis ini mulai menjadi fokus operator telekomunikasi,” ujarnya.
Pelanggan perusahaan, Faisal menambahkan, membutuhkan banyak pilihan layanan telekomunikasi bagi kebutuhan bisnisnya yang semakin kompleks. "Persaingan untuk memperebutkan pelanggan jenis ini mulai menjadi fokus operator telekomunikasi,” ujarnya.
Menumbuhkan kesadanran penduduk indonesia bahwa negara
kita kembali di jajah oleh orang – orang yang memegang kendali bisnis di dunia
ini.dan ingin menegaskan kembali bahwa sebenarnya nagara kita mempunyai sangat
banyak sumber daya ,baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Cuma
yang di sayangkan negara kita tidak memamfaatkan hal tersebut?
Bahkan sesutu yang sudah ada di jual kepada negara lain
,seperti ke singapore,malasia,Qatar DLL.kasus-kasus yang seperti ini saya pikir
sangat merugikan negara kita,bahkan dunia mamandang negara kita sebagia negara
yang tidak mempunyai komitmen dalam mengatur perusahaan dalam negri,apalagi di
luar negeri.
Terima kasih atas saran dan komentar anda, tentang blog saya
BalasHapusTerima kasih atas saran dan komentar anda, tentang blog saya
BalasHapusANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT
BalasHapusANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT
ANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT
ANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT