Senin, 11 Juni 2012

Analisa Kasus Penjualan Saham Telkomsel dan Indosat ke SINGTEL


Pengantar ekonomi
(HASAN NURYADI M.Ec)

“Analisa Kasus Penjualan Saham Telkomsel dan Indosat ke SINGTEL”
Oleh
Mukhsin N.(s.0913.215)

Daftar isi

BAB II  3

M
enganalisa kasus -kasus yang telah dilakukan oleh telkomsel maupun indosat ,yang saya kira membuat negara kita rugi hingga saaat ini  dan hal inilah yang membuat saya tertarik dengan permasalahan ini ,saat ini Indonesia menjadi incaran para pakar-pakar bisnis dunia kerana Indonesia mempunyai segalanya .katakan saja seperti Telkomsel,Indosat,XL dan lain-lain ,yang dimana semuanya menguasai pangsa pasar di Indonesia,tapi apa yang terjadi pada saat ini justru perusahaan di atas menjual saham-saham mereka kepada pihak-pihak asing sehingga  membuat perekonomian Indonesia semakin kacau saja .dan yang membuat kita geram mendengarnya  adalah yang membelinya singapore,malasia yang merupakan negara tetara kita yang hasil buminya tidak lebih baik dari negara kita ,namun sistem ekonominya seratus kali lebih dari negara kita .mereka pinter memamfaatkan sumber daya yang ada sehingga menghasilkan sesuatu barang atau hal-hal yang bernilai ekonomi.dan hal inilah yang membuat pengangguran di negara mereka berkurang ,dan bahkan mereka mampu mempengaruhi dunia saat ini yaitu singapore.
Dalam hampir setiap seminar, workshop, diskusi atau forum-forum terbuka lain yang membahas mengenai telekomunikasi, saya hampir selalu menemukan komentar atau lontaran pertanyaan mengenai kepemilikan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia ini. Yang lucu, kalau sudah bicara mengenai kepemilikan asing, maka pasti yang akan dibahas adalah Indosat. Mengapa demikian? mengapa tidak operator lain yang yang diributkan?..


Semua orang Indonesia mengaku tahu dan bangga bahwa negara kita kaya, kaya sumber alam, kekayaan anugerah Allah Yang Mahakaya. Namun, tidak semua mau mengaku bahwa kita ini bangsa yang bodoh, juga bangsa yang tidak bisa berdagang, sehingga dibodohi orang lain.Bagaimana kita dilecehkan karena kebodohan kita, lihat saja kasus STT/Temasek.STT atau Singapore Technologies Telemedia menjual 40,8 persen sahamnya di PT Indosat ke Qatar Telecom (Qtel) dengan harga jauh dari saat membelinya tahun 2002.Kita seolah (terlambat) disadarkan bahwa pemerintah Megawati waktu itu menjual terlalu murah, hanya Rp 5,62 triliun untuk 41,94 persen saham Indosat ke STT dengan alasan sedang butuh uang untuk menambal APBN. Mendapat dividen sekitar 1,5 miliar dollar AS selama mengelola PT Indosat selain menyisakan 1,14 persen saham, STT juga untung hampir dua kali lipat dengan penjualan senilai 1,8 miliar dollar AS atau Rp 16,56 triliun (kurs Rp 9.200 per dollar AS). Kelompok Temasek, selain mempunyai PT Indosat, juga memiliki 35 persen saham PT Telkomsel, yang sebagian didapat dari hengkangnya Koninklijke PTT—Post Telefoon en Telegraf—Nederland (KPN), ditambah penjualan saham Telkom untuk menaikkan kepemilikan saham Singapore Telecom (SingTel), anak usaha Temasek. Dari semua unit usaha telekomunikasi di Singapura atau di luar, Telkomsel menyumbang jumlah pelanggan yang paling besar, yakni 55 juta berbanding sekitar 2,5 juta pelanggan Sing.
Indonesia memang merupakan negara yang luas tapi sayangnya pemikiran kita tak seluas negara kita,lihat saja Talkomsel dan indosat murupakan perusahaan besar yang di miliki oleh negara kita,namun apa yang terjadi pada dua perusahaan ini mereka malah menjualkannya pada negera-negara asing,yang mlah mumbuat negara kita semakin miskin dan meningkatnya pengangguran .coba seandainya kedua perusahaan ini tidak di jual,dua perusahaan ini bisa menambah pendapatan negara kita ,karna kenapa di lihat dari segi penduduknya indonesia murupakan salah satu negara yang penduduknya sangat banyak dan semuanya menggunakan handphone selularbaik itu yang kaya maupun yang miskin.dan harga pulsanya pun sangat mahal misalnya saja pulsa yang 5ribu rupiah Rp6000 rupiah,dan ini merupakan harga yang sangat mahal kalau kita bandingkan dengan Malasia,singapore,Brunai Darussalam,bahkan hampir bisadi katakan pulsa di negara mereka tidak berharga.sungguh ironis apa yang telah di lakukan oleh bangsa kita ini sehingga menjurumuskan kita ke dalam keterperosotan yang semakin dalam. 
Privatisasi merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mendapatkan devisa bagi negara dengan menjual sebagian saham milik aset milik negara ke pihak lain. Kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 ini diambil dari usulan yang diberikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk menstabilkan kondisi keuangan dan meningkatkan devisa atau penerimaan negara. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini harus mendapat persetujuan dari DPR RI. Oleh karena itu kebijakan privatisasi merupakan salah satu kebijakan ekonomi politik Indonesia yang diharapkan dapat membawa manfaat yang besar bagi Indonesia.Dalam kasus privatisasi  PT Indosat Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) yang mendapat persetujuan DPR RI adalah penjualan sebagian saham PT Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk kepada pihak luar. Sebesar 35 persen saham Telkomsel dibeli oleh Singapore Telecom (Singtel) dan sebagian saham Indosat yaitu sebesar 41,94 persen saham dibeli oleh Singapore Technologies Telemedia (STT). Akan tetapi dalam kenyataannya kedua perusahaan Singapore yang telah membeli saham PT Telkomsel Tbk dan PT Indosat Tbk adalah perusahaan-perusahaan yang ada dibawah satu perusahaan induk yaitu Temasek Holding Group Ltd Singapura. Sehingga secara tidak langsung Temasek Holding Group Ltd Singapura yang memegang lebih dari sepertiga saham memiliki kewenangan untuk mempengaruhi kebijaksanaan, strategi dan profit dari PT Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk.
Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk merupakan provider telekomunikasi terbesar di Indonesia. Kedua perusahaan tersebut memiliki cakupan pasar sekitar 80 persen dibandingkan dengan provider telekomunikasi yang lain sehingga bisa dikatakan bahwa kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan vital karena berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Bila mengacu pada pasal 33 ayat 2, kepemilikan saham yang begitu besar ini jelas akan mengurangi peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya publik pada masyarakat karena semakin besar pemegang saham membeli saham suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula intervensi yang dapat ia lakukan dalam menentukan kebijakan perusahaan tersebut.
Sedangkan dampak negatif yang diberikan dari dilakukannya privatisasi ini adalah adanya tanda-tanda bahwa adanya monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan induk dari Singtel dan dan STT Singapore yaitu PT Temasek Singapura. Kondisi monopoli pasar ini merupakan kondisi yang tidak diinginkan dalam suatu lingkungan industri yang dapat merusak iklim bisnis di Indonesia. Walaupun tidak menguasai seluruh saham kedua perusahaan tersebut, tetapi lebih dari sepertiga sahamnya dikuasainya dan secara langsung Temasek mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam mengatur kebijaksanaan, strategi dan profit yang didapat oleh kedua perusahaan telekomunikasi Indonesia tersebut. Selain itu pemerintah akan mengalami kesulitan untuk mengintervensi dan mengatur perusahaan-perusahaan ini secara langsung, karena selain berhadapan dengan Temasek, pemerintah juga akan berhadapan dengan hukum Internasional.Studi Kasus Privatisasi PT. Indosat Tbk. (2002-2003). Agus Sarwanto ... politik ekonomi pada Pemerintahan Megawati Soekarnoputri: Studi kasus Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan privatisasi terhadap perusahaan yang sangat strategis dan ... Korporasi perusahaan agar tercipta manajemen dan budaya kerja ..
ada hal menarik yang belum saya tuliskan dan cukup worth it untuk dibahas mengingat topik ini terus menerus berulang dan menjadi bahan pembicaraan orang (atau koran?). Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau melihat persoalan secara utuh dan menempatkannya pada konteks yang tepat. Sayangnya lagi, justru orang-orang yang hanya mengambil screen shot dari konteks permasalahan yang banyak bersuara lantang di ruang publik sehingga terbentuklah opini.
Dalam hampir setiap seminar, workshop, diskusi atau forum-forum terbuka lain yang membahas mengenai telekomunikasi, saya hampir selalu menemukan komentar atau lontaran pertanyaan mengenai kepemilikan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia ini. Yang lucu, kalau sudah bicara mengenai kepemilikan asing, maka pasti yang akan dibahas adalah Indosat. Mengapa demikian? mengapa tidak operator lain yang yang diributkan?
Karena saya tidak suka conspiracy theory, maka saya melihat dari sudut pandang yang jelas-jelas ada saja. Jadi dalam issue ini, saya lebih suka menduga bahwa ini karena faktor sejarah yang membedakan antara Indosat dengan perusahaan-perusahaan telekomunikasi berlabel PMA yang lain.
Di antara seluruh operator di Indonesia, memang hanya Telkom dan Indosat perusahaan telekomunikasi yang pernah menjadi perusahaan yang BUMN secara langsung (artinya saham langsung dipegang oleh Pemerintah dan juga menyandang gelar persero). Kedua perusahaan pernah menikmati masa-masa indah monopoli yang dibagi dalam dua wilayah layanan, yaitu telekomunikasi domestik (oleh Telkom) dan telekomunikasi internasional (oleh Indosat). UU Telekomunikasi No. 3 Tahun 1989 dan turunannya bahkan menjadikan kedua perusahaan sebagai Badan Penyelenggara, yang berarti bagian dari Pemerintah. Meminjam istilah fraksi yang merupakan perpanjangan tangan parpol, maka Telkom dan Indosat merupakan perusahaan yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah di dunia bisnis. Bahkan menjelang IPO, kedua badan penyelenggara mendapatkan hak ekslusifitas atau jaminan monopoli untuk jangka waktu cukup lama (Indosat untuk SLI sampai tahun 2004, Telkom untuk SLJJ sampai tahun 2005 dan Lokal sampai tahun 2010).
Dari kedua perusahaan ini, muncullah perusahaan-perusahaan telekomunikasi lain, besar dan kecil yang merupakan hasil patungan kedua Badan Penyelenggara. Bisa dikatakan, hampir seluruh perusahaan telekomunikasi penyelenggara Jasa Teleponi Dasar merupakan milik Pemerintah, baik langsung (di Telkom dan Indosat) maupun tidak langsung (sebagai anak cucu kedua perusahaan tersebut). Perusahaan telekomunikasi yang murni swasta masih bisa dihitung dengan jari (misalnya Excelcomindo yang sejak awal berdiri merupakan swasta murni).
Pada Tahun 1997-1998, ketika krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis multidimensi melanda Indonesia, datanglah IMF yang membawa dana sekaligus ‘resep’ pemulihan ekonomi. Salah satu ‘resep’ yang dibawa IMF untuk sektor telekomunikasi adalah privatisasi dan pelarangan cross ownership. Pemerintah dan DPR pada waktu itu tidak memiliki pilihan lain, UU Telekomunikasi baru, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 segera dibuat dan disahkan menggantikan UU No. 3 Tahun 1989. UU baru ini yang secara drastis mengubah peta telekomunikasi Indonesia. Struktur penyelenggaraan jelas dirubah, kepemilikan juga tidak luput. Liberalisasi telekomunikasi Indonesia diawali dengan diterbitkannya UU baru ini. Pada prinsipnya, siapapun bisa menjadi penyelenggara telekomunikasi, baik BUMN, BUMD, swasta maupun koperasi. Dan ketika berbicara swasta, tidak ada pembatasan atau kentuan mengenai asing atau domestik. Satu-satunya regulasi terkait dengan kepemilikan asing adalah komitmen dalam GATT / WTO, namun pembatasan ini juga akhirnya banyak sekali direduksi dan bahkan banyak pula pembatasan yang dihilangkan.
Selain liberalisasi dan privatisasi, ada satu tuntutan IMF lain yang ’sederhana’ namun dampaknya jelas berkepanjangan sampai sekarang. Dalam LoI (Letter of Intent) yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan IMF, konon salah satu klausul yang tercatat adalah larangan adanya cross ownership antara dua perusahaan telekomunikasi Pemerintah, yaitu Telkom dan Indosat. Larangan ini benar-benar diterapkan pada awal tahun 2001 yang ditandai dengan kesepakatan pembagian anak-anak perusahaan Telkom dan Indosat. Pada awalnya keduanya, baik Telkom maupun Indosat ‘berebutan’ untuk mendapatkan Telkomsel diantara anak-anak perusahaan lain. Maklum, bahkan pada pada tahun 2001, Telkomsel merupakan perusahaan yang sangat sehat, tanpa hutang, sudah menjadi market leader dan berani mengklaim sudah hadir di seluruh propinsi di Indonesia (meskipun baru di ibukota provinsi). Dengan ‘petunjuk’ dari Pemerintah sebagai pemegang saham kedua perusahaan, disepakati bahwa Telkom mendapatkan Telkomsel, melepaskan kepemilikan di semua perusahaan yang lain, menyerahkan wilayah Jawa Tengah (Divre IV) dan masih harus membayar secara tunai kepada Indosat.
Sebelum eksekusi larangan cross ownership di atas, Telkom dan Indosat sudah mendapatkan alokasi frekuensi GSM baru dari Pemerintah di band 1800 MHz. Indosat segera membentuk Divisi Mobile yang kelak menjadi IM3 dan Telkom membentuk Divisi Mobile pula yang waktu itu dinamakan Telkom Mobile. Proses ‘perceraian’ dilaksanakan, Telkom yang harus membayar Indosat dalam jumlah besar memutuskan untuk melebur Telkom Mobile ke Telkomsel dan sekaligus menjual sebagian saham kepada strategic partner. O ya, kebetulan KPN yang menjadi pemegang saham Telkomsel lain mengalami kesulitan di daratan eropa dan memutuskan untuk quit dari Telkomsel, selain itu entah apa alasannya, Setiawan Djodi juga melepaskan sahamnya di Telkomsel. Telkom menemukan strategic partner yang pas, yaitu SingTel. Pada awalnya SingTel hanya menguasai 25% dari saham Telkomsel, namun kemudian menambah kepemilikannya menjadi 35%. Komposisi kepemilikan ini berlaku sampai sekarang.
Eksekusi kesepakatan pelepasan cross ownership ternyata tidak mulus. Karyawan Telkom di Jawa Tengah menolak untuk masuk ke Indosat bahkan mereka berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk melakukan demonstrasi pada saat dilakukan RUPS di Indosat. Entah ada intervensi dari Pemerintah atau tidak, beberapa tahun kemudian, management kedua perusahaan (Telkom dan Indosat) sepakat untuk membatalkan salah satu bagian dari kesepakatan tersebut, konsekuensinya, Telkom harus membayar Indosat. Indosat rupanya tidak mau tanggung untuk keluar dari lingkaran Telkom. Selain melepaskan kepemilikan di MGTI (pelaksana KSO di Jawa Tengah), Indosat juga melepaskan saham di PIN (KSO Divre I, Sumatera).Dengan uang hasil penjualan Telkomsel, Indosat langsung mengakusisi Bima Graha, pemilik mayoritas saham Satelindo pada waktu itu (Bimagraha merupakan unit bisnis di bawah bendera Bimantara sekarang merupakan Pemilik Mobile-8). Kepemilikan Indosat di Satelindo naik menjadi 75%. Sementara itu, pada akhir 2001, IM3 anak perusahaan berada dibawah kendali penuh Indosat (sebagian saham dalam proporsi yang sangat kecil dimiliki oleh Koperasi Karyawan Indosat) mulai launching. Kini Indosat memiliki dua perusahaan seluler yang beroperasi dan dikemudian hari akan menjadi sumber permasalahan besar di Indosat.
Sementara IM3 baru mulai beroperasi dan telah menyerap dana trilyunan rupiah dari Indosat, Satelindo berada pada posisi yang sulit. Kreditor Satelindo menerapkan covenant yang mengakibatkan Satelindo tidak dapat melakukan ekspansi. Struktur permodalan Satelindo yang kritis mengakibatkan kreditor mengawasi perusahaan ini dengan sangat ketat. Padahal, di dunia seluler, berhenti membangun sama saja menunggu kematian pelan-pelan. Untuk melepaskan covenant tersebut, shareholder harus melakukan penyuntikan modal kepada perusahaan untuk memperbaiki struktur permodalan. Sayangnya DT Mobile sebagai pemilik 25% saham Satelindo tidak sudi mengeluarkan dana tambahan untuk melepaskan covenant itu. Barangkali dengan tekanan dari Pemerintah juga, DT Mobile akhirnya keluar dari Satelindo, Indosat menjadi satu-satunya pemegang saham Satelindo 100%.
Dengan semua corporate action di atas, bisa dibayangkan berapa dana yang terlibat dan pajak yang harus dibayar oleh Telkom maupun Indosat. Kabarnya untuk pajak saja, tidak kurang dari Rp. 3 T dibayarkan kepada negara (sebagai perbandingan, bahkan revenue Indosat pada waktu itu masih di bawah Rp. 5 T).
Jika Telkom nampak sudah mulai tenang dan menata kembali bisnisnya setelah selesainya segala ribut-ribut di atas, tidak demikian halnya dengan Indosat. Kali ini bukan corporate action yang dilakukan oleh Indosat, tapi justru datang dari Pemerintah. Setelah issue cross ownership diselesaikan, Pemerintah masih tetap memiliki saham sebesar 65% di Indosat (sisanya semua diperdagangkan di pasar modal, baik JSX maupun NYSE). Karena tekanan kebutuhan untuk mengisi kas APBN, maka atas persetujuan DPR, Pemerintah diperbolehkan menjual saham-saham BUMN (privatisasi). Dalam daftar BUMN yang akan dijual, muncul Indosat.Pada awalnya, Pemerintah melakukan block sale di JSX, 8% saham dijual kepada publik. Namun rupanya cara ini tidak menghasilkan harga yang memuaskan. Maklum saja, dengan cara menjual saham ke publik, Pemerintah akan mendapatkan harga pasar terhadap setiap lembar saham dilepas. Strategic sale akhirnya menjadi pilihan. Dengan sisa kepemilikan sebesar 57%, Pemerintah menawarkan 42% sahamnya kepada investor yang berminat sehingga hanya menyisakan kepemilikan sebanyak 15%. Mengapa strategic sale? mudah saja, dengan strategic sale, Pemerintah berkesempatan mendapatkan harga premium, atau harga diatas harga pasar. Mengapa 42%? Alasannya juga mudah, kalau yang dijual hanya 30% misalnya, sehingga dalam komposisi akhir Pemerintah masih menguasai 27% (hampir berimbang dengan investor baru), maka pasti premium yang akan didapatkan akan semakin kecil. Logikanya investor akan memberikan premium lebih tinggi sebagai kompensasi terhadap kontrol yang akan diperolehnya terhadap perusahaan. Saham yang jual block sale ke JSX akan dihargai pada harga pasar karena investor tidak memiliki kontrol langsung kepada perusahaan. Semua proses di atas adalah logika bisnis normal.
Setelah mengadakan tender terbuka, dipilihlah pemenangnya yaitu STT yang menggunakan ICL sebagai SPV dalam pembelian ini. Lepas dari ‘kejanggalan-kejanggalan’ yang ditengarai berbagai pihak, misalnya keputusan pemenang yang ditentukan pada hari libur dsb, semua proses itu masih normal. Saya tidak tahu detail kejadian dibalik menangnya STT, namun dari sudut pandang corporate action, tidak ada kejanggalan apapun di sini.
Semua hingar bingar termasuk demonstrasi pasca penjualan Indosat nampaknya mulai mereda setelah masuk tahun 2003. Akhir tahun 2003, bertepatan dengan hari ulang tahun Indosat yang ke 36 (kalau saya tidak keliru), Indosat melakukan corporate action besar terakhir, yaitu melakukan merger tiga perusahaan (secara legal sebenarnya empat perusahaan, karena ada Bima Graha sebagai pemilik sebagian saham Satelindo) . Setelah hari itu, Satelindo dan IM3 sebagai entitas hilang ditelan oleh Indosat, namun produk-produknya tetap hidup sampai sekarang.
Tujuan dari merger yang dilakukan Indosat nampaknya adalah untuk meningkatkan efisiensi, terutama dalam belanja modal dan operasional jaringan yang dimilikinya, namun tujuan itu ternyata tidak mudah untuk dicapai. Setelah merger, ternyata Indosat mulai memasuki salah satu masa tersulit dalam sejarahnya. Merger secara entitas dapat dipersiapkan dan dilaksanakan dengan sukses, namun merger dalam hal-hal lain tidak semudah itu. Indosat harus melalui periode transisi menuju single network yang ditandai dengan menurunnya kualitas jaringan dan kemampuan meningkatkan kapasitas maupun coverage. Penyatuan sumber daya manusia, penyesuaian-penyesuaian organisasi dan berbagai persoalan pelik internal ternyata memerlukan waktu lebih panjang untuk diselesaikan. Dalam tiga tahun, sejak 2003 sampai 2006, ‘gejolak’ internal tersebut mengakibatkan performansi Indosat tidak cukup meyakinkan. Beberapa kali pergantian pucuk pimpinan tidak disertai dengan peningkatan pada performansi keuangan. Harga saham tentu saja cenderung stagnan dan segera dilewati oleh Telkom yang memang performansinya jauh lebih baik. Performansi Telkom yang kinclong tersebut sebenarnya ditopang oleh pertumbuhan Telkomsel yang hampir bisa dikatakan ‘tanpa saingan’ di Indonesia.
Puncak dari masa sulit Indosat terjadi di awal 2006 dimana baru pertama kali dalam sejarah, jumlah pelanggan seluler Indosat mengalami pertumbuhan negatif. Namun demikian, akhir 2006 sudah mulai menunjukkan tanda-tanda baik yang terus berlanjut sampai sekarang. Dan bersamaan dengan itu pula, mulai muncul issue-issue buy back, sentimen kepemilikan asing, monopoli dan berbagai tuduhan lain. Bahkan lembaga-lembaga akademis seperti LPEM dan INDEF melakukan studi khusus untuk ‘menyelidiki’ kerugian rakyat Indonesia akibat monopoli yang dilakukan Temasek, nenek moyang dari SingTel yang memiliki Telkomsel dan STT yang memiliki Indosat.
Basis argumentasi dari kajian mereka pada intinya adalah tarif layanan post paid Telkomsel dan Indosat yang cenderung mirip dari tahun ke tahun serta capex dan profitabilitas Telkomsel (atau secara umum performansi) yang jauh melebihi Indosat dalam beberapa tahun sejak sebagian -besar- kepemilikan Indosat beralih ke STT. Baik LPEM maupun INDEF menyimpulkan bahwa semua itu merupakan indikasi adanya kontrol dari the ultimate owner (yaitu Temasek) yang berpotensi merugikan konsumen Indonesia (bahkan sempat keluar angka Rp. 25 T!).
Mengenai tarif layanan postpaid, baik LPEM mapun INDEF melupakan satu hal yang sangat penting dan berpengaruh terhadap industri telekomunikasi, yaitu faktor regulasi. Sampai dengan diterbitkannya PM 12 Tahun 2006 mengenai tarif layanan di Jarber Seluler, seluruh tarif seluler di Indonesia pada dasarnya adalah diregulasi. Tarif postpaid ditentukan berdasarkan skenario panggilan yang komponennya terdiri dari tarif Air Time dan tarif Interkoneksi. Baik tarif Air Time maupun tarif Interkoneksi semuanya di atur oleh Pemerintah. Tidak bisa dihindarkan, kondisi seperti ini tentu memaksa Telkomsel dan Indosat untuk menerapkan tarif sangat mirip. Lalu mengapa hanya Telkomsel dan Indosat yang menerapkan tarif post paid yang mirip? mengapa operator lain memiliki pola tarif yang berbeda? pertanyaan ini justru akan tepat jika dijawab oleh operator yang menerapkan tarif post paid berbeda. Telkomsel dan indosat jelas mengikuti regulasi dari Pemerintah, operator lain? who knows?
Kondisi yang sama sekali berbeda terjadi di prepaid karena memang sejak awal, tarif prepaid hanya di atur ceiling (maksimal 140% dari tarif post paid). Karena hanya diatur batas atas, maka variasi bisa sangat banyak dan range yang terjadi juga bisa sangat lebar. Dalam hal ini (tarif pre paid), tidak akan bisa dilihat pola yang mirip antara Telkomsel dan Indosat. Masih ingat aturannya bukan?
Hal kedua yang diributkan adalah performansi, baik keuangan maupun pertumbuhan pelanggan. Sebagaimana telah saya jelaskan panjang lebar di atas, pasca merger Indosat mengalami masa-masa transisi yang sangat sulit. Ini bukanlah kondisi yang terjadi by design, tapi secara natural. Belanja modal yang dianggarkan Indosat habis untuk melakukan pembenahan jaringan di seluruh Indonesia. Situasi internal perusahaan juga masih ’shock’ pasca merger, perlu waktu untuk kembali ke jalur pertumbuhan. Dalam banyak kasus merger antar perusahaan-perusahaan besar, hal seperti ini terjadi di mana-mana. Indosat masih termasuk beruntung. Dalam waktu tiga tahun, bangunan baru hasil merger sudah mulai stabil. Perusahaan kembali mulai melangkah dan kembali ke jalur yang semestinya. Sebagaimana telah saya sebutkan tadi, Indosat baru mulai bangkit pada awal 2007 dan sebelum akhir tahun, tanda-tanda perningkat performansi itu sudah terlihat, harga saham Indosat kembali merangkak naik.
Kedua pokok argumentasi yang dibungkus dengan studi yang menggunakan berbagai metodologi canggih di atas ternyata dapat dijelaskan dengan sangat sederhana seperti di atas. Orang tidak memerlukan gelar doktor untuk memahami kondisi tersebut. Tapi cerita belum selesai.Akhir-akhir ini, KPPU bahkan ‘turun tangan’ menangani kasus ini. Dengan menggunakan berbagai ’studi ilmiah,’ di atas sebagai bekal, KPPU melihat adanya indikasi bahwa Temasek telah dengan sengaja melakukan monopoli di pasar Indonesia. Orang yang sedikit saja tahu sejarah perkembangan seperti yang diuraikan di atas tentu akan tertawa atau setidaknya tersenyum. KPPU merupakan lembaga terhormat yang di dalamnya terdapat pribadi-pribadi cerdas dengan reputasi mengagumkan. Tapi ada satu hal kecil yang aneh di sini. Antara tahun 2001 dan 2002 ketika baik Telkom menjual saham Telkomsel ke SingTel maupun ketika Pemerintah menjual saham Indosat kepada STT, KPPU sudah eksis atau setidaknya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Laranngan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sudah diterbitkan. Kemana KPPU pada waktu itu? Mengapa penyelidikan baru dilakukan sekarang? Tahun 2007, lima tahun setelah Indosat dijual ke STT.
Tidak dapat dipungkiri bahwa aroma nasionalisme yang anti asing sangat dominan dalam issue-issue seperti ini. Sangat wajar bahwa setiap warga negara yang waras akan memiliki rasa nasionalisme, kecintaan terhadap bangsa dan negara ini. Saya pribadi sangat sedih ketika Indosat harus berpindah kepemilikan dari Pemerintah ke STT, saya bahkan mendukung ketika karyawan Indosat melakukan demonstrasi menolak privatisasi. Tapi rupanya para pengambil keputusan di negara ini memiliki pertimbangan lain. Saya tidak tahu, apakah karena terdesar oleh kebutuhan untuk mengisi kas negara sehingga harus menjual ‘angsa bertelur emas’? lalu mengapa dijual kepada investor dari luar negeri bukan dari dalam negeri? lalu mengapa STT yang menang? dst. Itu semua tentu pihak-pihak yang terlibat langsung yang bisa menjawab.
SingTel Tingkatkan Kepemilikan di Telkomsel Singapore Telecommunication Ltd. (SingTel) kembali meningkatkan kepemilikan sahamya di PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), dengan membeli 12,7 persen saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) senilai US$ 429 juta. Dengan demikian, kepemilikan saham SingTel di Telkomsel kini menjadi 35 persen dari sebelumnya 22,3 persen, sehingga komposisi kepemilikan saham Telkomsel berubah menjadi Telkom 65 persen (sebelumnya 77,7 persen).
Apalagi yang dapat kita banggakan atas dunia telekomunikasi Indonesia ??Tahun 1995, PT Telkom mulai melakukan penjualan sahamnya di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange (LSE). ursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange (LSE). Dengan melakukan perdagangan saham di beberapa bursa efek ini, maka saham Telkom dapat dengan bebas dimiliki oleh investor. Pertanyaannya sekarang, apa untungnya Telkom melakukan hal ini? Kalau alasannya cuma untuk mendapatkan tambahan dana untuk menyehatkan dan mengembangkan bisnis Telkom, seperti ini kurang relevan. Bukankah pada saat itu Telkom tercatat sebagai BUMN paling sehat. Pada saat itu jasa telepon wireline masih menjadi pilihan utama masyarakat, karena bisnis telkomunikasi mobile belum terlalu berkembang. Sehingga dapat dipastikan bahwa Telkom adalah satu-satu perusahaan telekomunikasi yang menguasa pasar telekomunkasi di Indonesia pada saat itu. Banyak pihak berpendapat bahwa process penjualan saham ini adalah bagian dari scenario besar yang sedang dijalankan oleh pihak-pihak tertentu untuk dapat ikut menguasai Telkom sebagai asset telekomunikasi paling besar di negara ini.
Lalu pada tahun 1999, dengan desakan yang sangat kuat dari IMF, disahkanlah Undang-undang nomor 36/1999, tentang penghapusan monopoli penyelenggaraan telekomunikasi. Pada dasarnya UU ini hanya bertujuan untuk mengurangi control pemerintah di pereusahaan-perusahaan telekomunikasi besar yang ada di Indonesia. Salah satu dampak dari UU ini adalah, Telkom dan Indosat tidak boleh ambil berbagi kepemilikan dalam sebuah perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Sehingga di seluruh perusahaan telekomunikasi yang ada, dimana Telkom dan Indosat memiliki saham, maka kepemiliki keseluruhan saham perusahaan tersebut harus diserhkan kepada Telkom atau Indosat, sesuai dengan kesepakatan kedua perusahaan tersebut. Salah satu contoh kasusnya ialah seperti yang terjadi di Satelindo dan Telkomsel. Kepemilikan Telkomsel sepenuhnya menjadi milik Telkom, dimana Telkom harus membeli seluruh saham Indosat yang ada di Telkomsel. Dan Satelindo, sepenuhnya menjadi milik Indosat, dimana Indosat juga harus membeli seluruh saham Telkom di Satelindo.
Lihat juga kasus penjualan 12,72% saham telkom di Telkomsel kepada SingTel Singapore, sehingga saham SingTel di Telkomsel bertambah menjadi 35%, sedangkan saham Telkom turun menjadi 65%. Padahal pada waktu itu, proses penjualan saham Telkom di Telkomsel kepada SingTel ini tidak disetujui oleh DPR RI (kalau DPR tidak setuju, mestinya ada sesuatu dibalik process penjualan saham ini). Perlu diingat bahwa pada saat itu (2002), dengan jumlah pelanggan sebanyak 5 juta pelanggan, Telkomsel merupakan market leader di bisnis telekomunikasi mobile di Indonesia. Sehingga dengan bertambahnya jumlah saham SingTel di Telkomsel, maka akan mengakibatkan bertambahkan aliran uang dari Indonesia yang mengalir ke Singapore, yang secara langsung hanya akan memperkaya mereka.
1.Penjualan indosat ke singapore,(STT)                                                                                        
Kemudian kasus yang paling heboh, penjualan INDOSAT ke perusahaan asing asal Singapore, Singapore Technologies Telemedia (STT) pada tahun 2002. Dimana nilai jual INDOSAT saat itu dinilai sangat murah, padahal asset INDOSAT saat itu sangat besar, karena sebelum dijual INDOSAT baru saja mengakuisisi SATELINDO (dampak dari pemisahan saham INDOSAT dan TELKOM di seluruh perusahaan telekomunikasi yang ada di Indonesia). Dan dana hasil penjualannya juga tidak jelas alirannya kemana. Buntut dari penjualan ini, saat ini pemerintah Indonesia tidak memiliki control yang kuat di Indosat, karena mayoritas saham dimiliki oleh STT, yaitu sebanyak 39,96%, JP Morgan memilkin saham sebesar 8,38%, saham public sebesar 37,37%. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya memiliki saham sebesar 14,29%. Dan yang lebih penting lagi, asset Negara yang begitu besar yang ada di Indosat, tidak lagi apat dimanfa’atkan sepenuhnya untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia.
Lihat juga kasus jual beli license dan saham yang terjadi di 2 perusahaan pemegang license 3G yang baru, yaitu Cyber Access (CAC) dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) kepada perusahaan-perusahaan asing (Hutchison Telecom dan Maxis Malaysia). Padahal pemerintah dengan tegas melarang mereka menjual license dan sahamnya sampai mereka benar-benar dapat beroperasi dan membuktikan komitmen mereka untuk membangun infrastruktur 3G di Indonesia, sesuai dengan kesepakatan yang ada dalam kontrak license 3G yang mereka dapatkan. Kedua perusahaan ini seperti ini tidak mau repot-repot membangun infrastruktur 3G, tapi mereka tetap mau dapat untung gede, akhirnya mereka hanya berlaku sebagai ”broker” license 3G, dapat license dari pemerintah dan menjualnya dengan harga lebih mahal ke perusahaan asing. Dapat untung gede dengan tanpa harus repot. Tetapi akibatnya resource dan infrastruktur 3G di Indonesia akan denganmudah dikuasai pihak asing.
Lihat juga kasus penjualan XL ke Telekom Malaysia (TM Malaysia) pada tahun 2005. Dengan penjualan ini maka komposisi kepemilikan di XL saat ini menjadi sebagai berikut : Indocel Holding Sdn. Bhd. (Malaysia) sebesar 67,0%, Khazanah Nasional Berhad (Malaysia) sebesar 16,8%, Bella Sapphire Ventures Ltd. Sebesar 16%, dan sisanya sebesar 0.2%.dimiliki oleh karyawan dan public.Selain kasus jual-beli di atas, pada tahun ini, pemerintah juga telah mengeluarkan ijin bagi 10 negara asing untuk mengorbitkan satelit mereka di atas wilayah udara Indonseia. Dengan demikian maka bangsa-bangsa maju dapat dengan sesuka hati mereka mengorbitkan satelitnya di atas wilayah Indonesia, akibatnya semua wilayah Indonesia akan mampu mereka pantau, baik kondisi lingkungannya, keamanan, maupun kekayaan alamnya. Kita seperti membuka lebar-lebar pintu rahasia rumah kita yang selama ini kita tutup rapat-rapat.
Deretan kasus-kasus di atas mengakibatkan hampir semua perusahaan-perusahaan telekomunikasi besar di negeri ini menjadi milik perusahaan asing, baik sebagian ataupun keseluruhan. Sehingga secara otomastis, devisa yang dihasilkan dari industri telekomunikasi di negeri ini, yang nilainya sangatlah besar, akan mengalir juga ke negara-negara yang perusahaannya memiliki saham di perusahaan-perusahaan telekomunikasi Indonesia tersebut.
Selain dari sisi ekonomi, resource dan infrastruktur telekomunikasi adalah suatu hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, yang akan sangat mendukung keamanan dan integritas bangsa tersebut. Bagaimana jadinya jika hal yang begitu penting itu dikuasai dan dikontrol oleh pihak asing. Belum lagi dengan infrastruktur telekomunikasi asing yang diperbolehkan beroperasi di wilayah Indonesai. Akibatnya pihak-pihak asing bisa saja dengan mudah mencuri informasi-informasi penting bangsa dan negara kita, yang dengan informasi itu maka melemahkan tingkat keamanan, kedaulatan, kesatuan negara kita.Belum lagi keuntungan yang didapat jika dihitung bahwa banyak pembelian prasarana telekomunikasi harus lewat Singapura, tidak dibeli di Indonesia. Singapura memang miskin sumber daya alam, tetapi akalnya hebat, bisa memanfaatkan mitra untuk keuntungan mereka tanpa risi.
Namun, lewat Bridge, aliansi yang menyatukan semua perusahaan telekomunikasi yang sahamnya juga dimiliki kelompok ini, SingTel bisa mendapatkan harga beli yang sangat murah dari vendor, seperti harga untuk pembeli besar. Harga kartu SIM (subscriber identification module), misalnya, yang kalau di bawah satu juta sebulan bisa Rp 60.000 setiap keping, tetapi karena dibeli oleh Bridge yang sebulan bisa memesan 12 jutaan kartu SIM, harga bisa hanya Rp 3.500.Dari semua kebutuhan SIM untuk kartu perdana, contohnya, Telkomsel saja perlu sedikitnya 60 juta keping, belum Bharti India, belum Maxis Malaysia, belum dari Thailand, Australia, dan Filipina, sementara SingTel paling hanya membutuhkan 10.000 sebulan. Alasan itu juga kenapa Indosat—yang kelompok aliansinya berbeda dengan Bridge—harus membeli barang teknologi semisal BTS atau perangkat sentral lewat grupnya di Singapura. Baik dari transaksi atau kartu SIM atau barang lain, Singapura akan mendapat semacam fee.
Memang itulah bisnis, unggul jika piawai dalam memanfaatkan kelebihan dan meminimalkan kelemahan, dan kemampuan itu dimiliki Singapura, tetapi tidak kita miliki. Menjual kembali dengan harga berlipat, dalam bisnis dan dagang seperti yang dilakukan STT, tidak ada haramnya.Soal sah secara dagang, sudah digaungkan banyak pihak yang menganggap tak ada yang salah dalam transaksi antara STT dan Qtel. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tidak melihat sesuatu yang salah dalam jual beli itu. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang memang dari kalangan saudagar, menilai itu adalah transaksi bisnis biasa yang sah.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berkutat di perdagangan yang mengaitkan transaksi ini dengan hukum, dan hanya melihat dari sisi hukum dagang saja, malah Menneg BUMN Sofyan Djalil memandang transaksi ini sebagai berkah. Dengan naiknya harga minyak, negara-negara Timur Tengah penghasil minyak kebanjiran uang dan pemerintah merasa perlu menarik mereka menanamkan modal di Indonesia.Padahal, ketika transaksi ditutup, STT masih terkait masalah hukum yang sedang dalam proses kasasi di Mahkamah Agung yang sewajarnya dihormati oleh semua pihak. STT terkena masalah ketika Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat Kelompok Temasek sudah melakukan praktik usaha yang melanggar Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
PT Indosat dan PT Telkomsel dimiliki oleh Kelompok Temasek lewat beberapa unit usahanya: PT Indosat dimiliki Asia Mobile Holdings (AMH) yang 75 persen sahamnya dimiliki STT dan 25 persen Qtel, sementara PT Telkomsel dimiliki lewat SingTel. Keduanya memiliki pangsa pasar sampai 82 persen, yang dianggap berpotensi untuk mengatur harga dan menimbulkan monopoli serta persaingan yang tidak sehat.
Majelis KPPU memutuskan STT harus melepaskan salah satu anak perusahaannya di Indonesia itu dan menjual sahamnya kepada pihak lain yang tidak punya afiliasi dengan STT, maksimal 5 persen saham kepada setiap pembeli. Angka ini diubah menjadi 10 persen oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lalu STT mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.Apa pun keputusan Mahkamah Agung, terlihat bahwa STT melecehkan Mahkamah Agung dan KPPU karena menjual saham tanpa menunggu proses hukum berakhir. Mustahil STT atau Temasek tidak tahu proses hukum di Indonesia, tetapi mereka sudah melihat lubang-lubang penyelamat yang membuat hukum di Indonesia lewat keputusan MA tak bisa menjangkau mereka.STT menyalahi keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena menjual saham sekaligus dalam jumlah besar, 40,8 persen, tidak 10 persen. STT juga menjual kepada perusahaan yang berafiliasi di AMH yang 25 persen sahamnya dimiliki Qtel, 75 persen sisanya STT.
Kecanggihan STT atau Temasek bisa disimak dari pernyataan Chief Excecutive Officer STT, Lee Theng Kiat, seperti dikutip media belum lama ini. Menurut dia, dengan transaksi itu, STT tidak lagi terlibat dengan PT Indosat, juga dalam masalah dengan KPPU.Apakah maksudnya walau MA menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, eksekusi tidak bisa dilakukan karena STT tidak lagi ada kaitan dengan Indosat? Qtel yang punya saham di Indosat pun bisa berkelit. Mereka bukan STT dan sama sekali tidak mewakili STT sehingga keputusan itu tidak berkaitan dengan Qtel.
Kalau ini terjadi, wibawa lembaga hukum kita akan makin merosot sampai ke dasar, khususnya pada masalah bisnis dan industri internasional karena keputusannya tidak bergigi. KPPU pun sama karena keputusan akhir mentah, sasarannya bisa berkelit.Syamsul Ma’arif, Ketua KPPU, yang sangat kecewa pada manuver bisnis STT yang melecehkan lembaganya itu, berencana mengadukan masalahnya ke Asian Expert Group on Competition (AEGC) .Lembaga pengawas persaingan usaha se-Asia ini diharapkan bisa memberikan dukungan atau jalan jika Bapepam dan Mahkamah Agung tidak bisa menyelesaikan kasus ini.

Telkom menandatangani nota kesepahaman dengan Singtel dalam program kerjasama peningkatan kualitas sumber daya manusia. Perusahaan telekomunikasi Singapura itu dipilih lantaran reputasinya sudah mendunia. Tahap awal kerjasama, kata Direktur Sumber Daya Manusia Telkom Faisal Syam, meliputi bidang pengelolaan pelanggan dan tanggung jawab sosial perusahaan. "Selanjutnya akan dikembangkan ke bidang manajemen risiko, bisnis internasional, dan regulatory management,"ujar . Faisal mengungkapkan, pengelolaan pelanggan merupakan bidang yang berkembang pesat dan semakin penting perannya. Persaingan di bisnis telekomunikasi telah memacu operator berlomba memberi pelayanan terbaik kepada pelanggan, khususnya pelanggan perusahaan.
Pelanggan perusahaan, Faisal menambahkan, membutuhkan banyak pilihan layanan telekomunikasi bagi kebutuhan bisnisnya yang semakin kompleks. "Persaingan untuk memperebutkan pelanggan jenis ini mulai menjadi fokus operator telekomunikasi,” ujarnya. 

Menumbuhkan kesadanran penduduk indonesia bahwa negara kita kembali di jajah oleh orang – orang yang memegang kendali bisnis di dunia ini.dan ingin menegaskan kembali bahwa sebenarnya nagara kita mempunyai sangat banyak sumber daya ,baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Cuma yang di sayangkan negara kita tidak memamfaatkan hal tersebut?
Bahkan sesutu yang sudah ada di jual kepada negara lain ,seperti ke singapore,malasia,Qatar DLL.kasus-kasus yang seperti ini saya pikir sangat merugikan negara kita,bahkan dunia mamandang negara kita sebagia negara yang tidak mempunyai komitmen dalam mengatur perusahaan dalam negri,apalagi di luar negeri.

3 komentar:

  1. Terima kasih atas saran dan komentar anda, tentang blog saya

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas saran dan komentar anda, tentang blog saya

    BalasHapus
  3. ANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT




    ANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT




    ANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT



    ANGKA JITU DAN AKURAT YANG BISA ANDA MENANGKAN HARI INI INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT

    BalasHapus